Oleh: Juvica Heng
Matius 23: 1-12
Quotes
Menjadi Seorang Pemimpin Adalah Kesukaan Bagi Banyak Orang, Tetapi Menjadi Seorang Pemimpin yang Memiliki Hati Seorang Pelayan Itulah yang Berkenan di Hadapan Tuhan
Suatu ketika saya ditugaskan untuk mengatur penempatan posisi orang-orang yang ada di dalam suatu kepanitiaan. Pada saat itu saya dengan teman saya sedang mendiskusikan tentang penempatan posisi orang-orang yang akan bertugas di dalam kepanitiaan tersebut. Sampai suatu hari saya bertanya kepada teman saya, “kalau di dalam posisi ini, kamu lebih memilih menjadi apa? Menjadi koordinator atau menjadi volunteers yang membantu di dalam bidang ini?” Secara cepat, dan tanggap ia menjawab, “ya, menjadi koordinator dong. Kalau saya menjadi koordinator, saya bisa suruh-suruh orang lain untuk melakukan ini dan itu, tanpa harus melakukan sesuatu yang sulit. Saya tinggal mengatur orang-orang untuk melakukan apa yang saya perintahkan.” Kemudian di akhir kalimatnya ia berkata “kalau bisa menjadi seorang pemimpin yang bisa mengatur tanpa harus bekerja keras, kenapa harus menjadi seorang pelayan yang harus mengeluarkan tenaga untuk bekerja? Toh, lebih enak memimpin daripada dipimpin. Lebih enak menyuruh orang melakukan sesuatu daripada disuruh untuk melakukan sesuatu.”
Pada umumnya, orang pasti akan berpendapat menjadi pemimpin lebih baik dari pada pelayan. Kalau disuruh memilih, maka banyak orang akan memilih menjadi pemimpin yang tinggal memerintah daripada pelayan yang disuruh-suruh. Tidak hanya memerintah orang lain, jika kita menjadi seorang pemimpin maka kita juga akan dihormati dan dihargai oleh orang lain.
Dilihat dari apa yang bisa dilakukan dan didapat oleh seorang pemimpin, maka akan banyak orang berpikir “lebih baik jadi seorang pemimpin yang bisa dihormati dan dihargai banyak orang.” Berbicara mengenai seorang pemimpin, pemikiran yang demikian sudah muncul dari 2000 tahun yang lalu melalui apa yang dilakukan oleh orang Farisi dan ahli-ahli Taurat di dalam Matius 23:1-12. Ketika mereka dipercayakan kehormatan dan otoritas sebagaimana mereka telah duduk di atas kursi Musa (ay.2), dapat dikatakan bahwa mereka melakukan tugas mereka dengan baik. Melakukan tugas dengan baik di sini ditujukan kepada mengajarkan Taurat kepada orang Yahudi pada masa itu. Namun ironisnya, apa yang dilakukan oleh orang Farisi dan ahli-ahli Taurat tidak sesuai dengan apa yang mereka ajarkan (yaitu Taurat) kepada banyak orang (ay. 4) dan perbuatan mereka dikecam oleh Yesus (ay. 2-3).
Melihat apa yang dilakukan oleh orang Farisi dan juga ahli Taurat, Yesus menyuruh orang banyak dan murid-murid untuk mengikuti ajaran yang diajarkan oleh orang Farisi dan ahli Taurat, tetapi jangan mengikuti apa yang dilakukan oleh mereka (ay. 3). Ketika Yesus menyuruh mereka untuk mengikuti apa yang diajarkan hal ini merujuk kepada pengajaran yang sesuai dengan kebenaran firman Tuhan. Sedangkan perintah yang menyuruh mereka untuk jangan mengikuti apa yang dilakukan merujuk kepada perbuatan dan motivasi orang Farisi dan ahli Taurat yang melakukan pelayanannya sebagai pemimpin rohani hanya untuk dilihat orang dan meninggikan dirinya sendiri (mencari penghormatan dan supaya dilihat orang). Tidak hanya berbicara mengenai perbuatan yang tidak melakukan kebenaran Firman Tuhan, tetapi Yesus juga mengecam apa yang telah dilakukan mereka yaitu melakukan segala sesuatu yang “bersifat rohani” supaya mereka bisa dilihat oleh orang dan mendapatkan penghormatan dari orang banyak (ay. 5-7). Ketika melihat apa yang dilakukan oleh orang Farisi dan ahli Taurat, secara tidak langsung memperlihatkan bagaimana motivasi mereka ketika mereka menjadi seorang pemimpin rohani pada masa itu. Melalui apa yang dilakukan oleh orang Farisi dan ahli Taurat, maka secara sederhana dapat dipahami bahwa mereka adalah seorang pemimpin rohani yang mengajarkan tentang Firman Tuhan, tetapi mereka sendiri tidak melakukan pengajaran itu di dalam kehidupan mereka sendiri. Tujuan dari pelayanan yang mereka lakukan hanyalah untuk meninggikan diri mereka sendiri dan untuk mencari penghormatan dari orang lain.
Melihat apa yang dilakukan oleh orang Farisi dan ahli Taurat, Yesus memiliki pemahaman yang bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh mereka. Ketika orang Farisi dan ahli Taurat berusaha mencari penghormatan yang ditujukan untuk meninggikan diri sendiri, justru Yesus menyuruh orang banyak dan para murid untuk merendahkan diri dan menjadi pelayan seorang dengan yang lain (ay. 11-12). Barangsiapa hendak menjadi yang terbesar, hendaklah ia menjadi pelayan. Pelayan di sini diartikan sebagai pemimpin yang tunduk kepada Yesus sebagai Tuan dan kita bisa melayani sesama kita, sebagaimana kita adalah seorang saudara.
Melalui perbuatan yang dilakukan oleh orang Farisi dan ahli Taurat, kita dapat belajar bagaimana Yesus memberikan peringatan kepada setiap kita (seorang pemimpin) untuk menjadi seorang pelayan. Pemimpin yang merendahkan diri menjadi seorang pelayan yang tunduk di bawah otoritas Tuannya yaitu Yesus Kristus, dan bukannya menjadi seorang pemimpin yang meninggikan diri dengan otoritas yang dimiliki dan mencari penghormatan dari banyak orang.
Menjadi seorang pemimpin adalah suatu karunia dan anugerah yang Allah berikan kepada umat-Nya. Namun pertanyaannya, ketika kita dipercayakan untuk menjadi seorang pemimpin disuatu tempat, suatu organisasi, di dalam keluarga (sebagai kepala keluarga, ibu rumah tangga, menjadi kakak atau abang dari adik-adik kita), di kampus (menjadi kakak tingkat) atau di mana pun, apakah kita memiliki hati seorang pelayan yang sesuai dengan apa yang sudah Yesus perintahkan kepada orang banyak dan murid-murid-Nya? Apakah kita memiliki hati pelayan yang mau melayani sesama, tanpa harus melihat posisi atau jabatan yang kita miliki saat ini?
Comentarios