Oleh: Lukas C. Lase
![](https://static.wixstatic.com/media/nsplsh_6f367650716e674f387949~mv2_d_4752_3168_s_4_2.jpg/v1/fill/w_938,h_625,al_c,q_85,usm_0.66_1.00_0.01,enc_avif,quality_auto/nsplsh_6f367650716e674f387949~mv2_d_4752_3168_s_4_2.jpg)
Roma 14:1-12
Quotes
Apapun Yang Kuyakini, Kulakukan Dan Kupertanggungjawabkan Kepada Tuhan
Pada masanya (yakni 5 abad pertama), kekristenan di Roma merupakan salah satu pusat dari kekristenan terbesar di dunia. Kekristenan yang diduga berawal dari antara orang Yahudi diaspora yang menetap di Roma[1] ini menjadi salah satu jemaat yang berkembang dengan pesat dan memberikan pengaruh yang besar dalam kekristenan pada masanya. Namun demikian, hal ini tidak dapat mengindikasikan bahwa selama perkembangannya, kekristenan awal di Roma terhindar dari konflik maupun perselisihan. Di dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menunjukkan dengan jelas dalam pasal 14-15 akan adanya perselisihan yang terjadi di antara jemaat. Dalam hal ini, apa yang menjadi perselisihan dari jemaat ini?
Paulus mengawali perikop ini dengan mengatakan “terimalah orang yang lemah imannya” (ay. 1). Dalam penggunaannya, kata perintah “terimalah” muncul sebanyak dua kali dalam surat Roma dengan bentuk yang berbeda, yang mana kata ini merujuk kepada penerimaan yang dilakukan oleh Allah (ay. 3) dan penerimaan oleh Yesus (Rm. 15:7) terhadap setiap orang percaya. Akan tetapi, mengapa Paulus mengawali perikop ini dengan memberikan perintah “terimalah”? Lebih lanjut, Paulus memperjelas perintahnya dengan mengatakan “bukan untuk memperdebatkan mengenai pendapatnya” (terj. harfiah dari bahasa asli oleh penulis). Hal ini memperlihatkan adanya selisih pendapat antara dua pihak, yakni pihak yang menentang pendapat orang yang lemah imannya (atau yang mana dalam pasal 15:1 disebut sebagai orang “yang kuat”) dan pihak dari orang yang lemah imannya.
Perdebatan yang terjadi antara kedua pihak ditunjukkan dengan jelas oleh Paulus pada ayat selanjutnya, yakni perbedaan pendapat mengenai makanan, yang mana pihak yang kuat yakin untuk dapat memakan apapun, sedangkan pihak yang lemah (oleh karena lemah imannya) hanya makan sayur-sayuran saja (ay. 2). Tidak hanya itu, hal lainnya yang menjadi perdebatan di antara kedua pihak ini adalah mengenai “hari,” sebagaimana pihak yang satu menganggap hari yang satu melebihi hari yang lain, sedangkan pihak yang lain menganggap semua hari sama saja (ay. 5), tidak ada hari yang melebihi hari yang lain. Bahkan lebih dari pada itu, di dalam perdebatan di antara kedua pihak ini, mereka saling menghakimi dan menghina pendapat yang berbeda dari apa yang diyakini oleh pihaknya masing-masing. Hal ini ditunjukkan dengan jelas sebagaimana Paulus melarang mereka untuk menghina dan menghakimi pihak yang berbeda pendapat dari mereka (ay. 3), serta mempertanyakan kembali siapa diri mereka dan atas alasan apa sehingga mereka saling menghakimi dan menghina antara yang satu dengan yang lain (ay. 4, 10).
![](https://static.wixstatic.com/media/nsplsh_91f7b47c72bc470a8781adfc760db75a~mv2.jpg/v1/fill/w_980,h_653,al_c,q_85,usm_0.66_1.00_0.01,enc_avif,quality_auto/nsplsh_91f7b47c72bc470a8781adfc760db75a~mv2.jpg)
Terhadap kedua perilaku ini, Paulus mengajarkan kepada Jemaat di Roma untuk tidak menghina maupun menghakimi pihak yang memiliki pendapat yang berbeda dari mereka, serta berpegang teguh pada keyakinannya masing-masing. Dalam keyakinan inilah, Paulus mengajarkan bahwa apa yang seseorang yakini, ia berpegang pada keyakinannya untuk Tuhan. Jadi baik orang yang lemah maupun orang yang kuat, pihak yang lemah maupun pihak yang kuat, baik mereka yang yakin dapat memakan apapun maupun mereka yang hanya makan sayur-sayuran, juga baik mereka yang menganggap satu hari lebih utama dari pada hari lainnya maupun mereka yang menganggap semua hari sama, mereka melakukannya untuk Tuhan. Hal ini dengan jelas menjadi penekanan Paulus dalam ayat 7, “sebab tidak ada seorangpun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri dan ... mati untuk dirinya sendiri.” Dalam pernyataannya ini Paulus memperjelas bahwa baik hidup maupun matinya setiap orang percaya adalah untuk Tuhan, sebab setiap mereka adalah milik Tuhan (ay. 8).
Pada poin ini, Paulus menekankan bahwa bukan keyakinan mana yang lebih benar, sebab setiap keyakinan yang berbeda, yang dimiliki oleh setiap orang percaya dilakukannya untuk Tuhan. Lebih dari pada itu, Paulus meyakinkan setiap orang untuk dapat berpegang teguh pada keyakinannya masing-masing, karena apa yang diyakini oleh setiap orang percaya dilakukannya untuk Tuhan dan juga dipertanggungjawabkannya kepada Tuhan (ay. 12). Jadi apa yang diyakini seseorang bukanlah berdasarkan pada pandangan bahwa keyakinan yang dipegangnya lebih benar daripada keyakinan yang dipegang orang lain, melainkan setiap orang memandang bahwa keyakinan yang dipegang dengan teguh adalah keyakinan yang dilakukannya untuk Tuhan. Dengan demikian, tidak ada lagi alasan untuk menolak, menentang, bahkan menghina dan menghakimi saudara seiman yang memiliki keyakinan yang berbeda akan suatu hal yang dilakukannya untuk Tuhan. Sebaliknya, setiap orang percaya menerima saudara seimannya yang memiliki keyakinan yang berbeda dengan dirinya. Penerimaan ini dilakukan sebagaimana Allah menerima setiap orang percaya.
Tidak jarang, lamanya kita sebagai seorang seminaris, rohaniwan, guru agama maupun orang Kristen yang bergelut dalam dunia teologi membuat diri kita memiliki wawasan dan pengetahuan yang semakin luas dan mendalam. Wawasan dan pengetahuan ini pun membangun suatu perspektif di dalam diri kita yang pada akhirnya berdampak bagi suatu tindakan konkret dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contohnya adalah kehidupan doa. Ada yang menganggap bahwa kehidupan doa harus dilakukan sama seperti seorang tokoh Alkitab yang bernama Daniel, yang mana ia berdoa tiga kali sehari (Dan. 6:10). Ada juga yang menganggap bahwa kehidupan doa harus dilakukan seperti teladan yang Yesus berikan, yakni doa semalam-malaman (Luk. 6:12). Bahkan pada saat ini, ada juga yang menganggap bahwa kehidupan doa yang dilakukan dua kali sehari, yakni setelah bangun pagi dan sebelum tidur malam adalah cukup. Hal ini memperlihatkan bahwa ada banyak perspektif yang berbeda yang dimiliki setiap orang terhadap salah satu aspek penting dalam kehidupan rohani mereka. Akan tetapi, dapatkah perbedaan ini membuat kita merasa salah satu cara dalam melaksanakan kehidupan doa yang kita miliki adalah yang paling benar di antara yang lainnya?
![](https://static.wixstatic.com/media/nsplsh_7430446b335a34434d784d~mv2_d_5874_3915_s_4_2.jpg/v1/fill/w_980,h_653,al_c,q_85,usm_0.66_1.00_0.01,enc_avif,quality_auto/nsplsh_7430446b335a34434d784d~mv2_d_5874_3915_s_4_2.jpg)
Hal lainnya terkait dengan kehidupan rohani yang juga sering kali kita temui di dalam kehidupan orang percaya adalah waktu di mana kita memuji Tuhan, merenungkan Firman-Nya, dan berdoa, atau yang biasanya disebut waktu Teduh. Ada yang menganggap bahwa waktu Teduh dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Ada juga yang menganggap bahwa waktu Teduh itu dilakukan di ruang tertutup dan di tempat yang tenang. Selain itu, ada juga yang menganggap bahwa waktu Teduh itu seharusnya dilakukan pada pagi hari, tepat pukul 5 pagi sebelum melakukan berbagai aktivitas. Semuanya itu tentunya dilakukan berdasarkan perspektif yang berbeda-beda. Akan tetapi, dapatkah perbedaan itu membuat kita merasa bahwa waktu Teduh kita lebih rohani dari pada waktu Teduh lainnya? Atau dapatkah kita memandang rendah waktu teduh selain dari pada waktu teduh di pagi hari? Ironisnya, tidak sedikit seminaris, rohaniwan, guru agama, maupun orang Kristen yang menganggap kehidupan rohani yang ia yakini lebih baik daripada kehidupan rohani yang lain, dan bahkan apa yang ia yakini menjadi batu sandungan bagi orang lain.
Marilah kita mengubah perspektif yang demikian, dengan berpegang teguh pada keyakinan kita masing-masing serta terbuka untuk menerima keyakinan berbeda, yang dimiliki oleh saudara seiman kita. Sebab, apapun keyakinan yang kita miliki bukanlah bagi diri kita sendiri, melainkan semuanya itu dilakukan untuk Tuhan dan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.
[1]. M. E. Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 91.
Menerima kadang menjadi pilihan kedua, pilhan pertama kadang jatuh kepada rejection dan menghakimi. Renungan yang mengingatkan ku kembali melihat sisi yang unik dalam perbedaan - perbedaan yang berjalan ke arah yang sama yaitu Kristus.