Oleh: Aldi Darmawan Sie
Yesaya 30:8-17
Quotes
Sumber Kekuatan Kita Sebagai Umat Allah Di Dalam Menghadapi Berbagai Tantangan Dan Kesulitan, Tidak Terletak Dari Hebatnya Pikiran Kita Dalam Mengelola Permasalahan Kita, Tetapi Berasal Dari Allah Sendiri.
Piala adalah alat yang digunakan sebagai suatu lambang pencapaian atau prestasi seseorang. Benda ini biasanya bertujuan supaya, baik si peraih prestasi sampai keturunannya kelak, dapat mengingat kembali pencapaian gemilangnya di masa lalu. Namun, teks Yesaya 30: 8 justru menampilkan realita yang sangat berbeda. Pada ayat ini, Allah bukan memerintahkan Yesaya untuk mengabadikan prestasi atau pencapaian yang gemilang dari bangsa Israel. Sebaliknya, Ia malah menyuruh Yesaya untuk mengabadikan peristiwa ketidakpercayaan Bangsa Israel kepada Allah ke dalam suatu loh batu dan menuliskannya dalam kitab. Tujuannya adalah agar realita tersebut dapat menjadi suatu kesaksian yang abadi bagi keturunan mereka dan setiap orang yang membacanya.
Apa sebabnya? Pada ayat ke-9, Allah menjabarkan alasan-alasannya. Bangsa Israel disebut Allah sebagi bangsa pemberontak. Dikatakan juga bahwa mereka adalah bangsa yang suka berbohong. Mereka juga tidak mau lagi memperhatikan pengajaran TUHAN. Lebih parahnya, mereka hanya mau mendengar buaian-buaian manis dari para nabi-nabi palsu (ay. 10). Mereka sesungguhnya bukannya tidak tahu Firman Allah, tetapi mereka dengan sengaja mengabaikan, bahkan melawan Firman Tuhan itu. Apa yang bangsa Israel lakukan ini sama saja dengan melawan Allah sendiri.
Firman Allah yang disampaikan melalui Nabi Yesaya ini ditulis sebagai respons atas tindakan bangsa Israel yang mencari pertolongan kepada Mesir. Pada saat itu, bangsa Israel sedang menghadapi tekanan yang hebat dari keadikuasaan Dinasti Asyur. Namun, alih-alih percaya dan menantikan pertolongan dari Allah YHWH, Bangsa Israel malah menolak firman Allah dan meminta pertolongan kepada Bangsa Mesir (ay. 12). Peringatan demi peringatan firman Allah melalui nabi telah digaungkan kepada Bangsa Israel. Namun, mereka tetap menolak untuk percaya kepada Allah dan malahan mencari pertolongan dari bangsa yang pernah memperbudak dan memahitkan hidup mereka pada masa lampau.
Pada masa-masa yang sulit dan terjepit, sepertinya lebih mudah bagi Bangsa Israel untuk mencari pertolongan dari apa yang mereka lihat, ketimbang dari apa yang tidak mereka lihat dengan mata kepala mereka sendiri. Mungkin mereka melihat bahwa Bangsa Mesir adalah bangsa yang super-power, mereka juga memiliki senjata perang yang mumpuni, dan memiliki strategi perang yang dianggap apik untuk menaklukkan Kerajaan Asyur. Hal-hal itulah yang mendorong Bangsa Israel untuk datang, bahkan dengan rela hati memberikan kekayaan mereka kepada Bangsa Mesir (ay. 6), supaya mendapatkan pertolongan.
Kitab Yesaya kental dengan motif “Allah Yang Maha Kudus”. Yesaya dengan begitu kuat menggambarkan dan menekankan tentang atribut Allah ini dalam kitabnya, sebagai Allah yang bukan hanya kudus, tetapi Mahakudus (The Holy one). Itulah sebabnya di perikop ini juga tercatat tiga kali Nabi Yesaya menyebutkan atribut ini dalam penyebutan nama Allah (ay. 11, 12, 15). Implikasinya, sebagai umat Allah, Israel juga dituntut untuk memancarkan kehidupan yang kudus bagi Allah di tengah dunia. Wujud kekudusan ini harus diekspresikan dengan cara menampilkan hidup yang berbeda, baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, sampai berkomunitas dari bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Allah YHWH. Hal ini termasuk ketika mereka sedang menghadapi peperangan. Pada masa itu, perlengkapan perang, seperti senjata, kuda-kuda, kereta besi, dan baju perang, dianggap menjadi kunci untuk memenangkan peperangan. Namun, bagi Allah YHWH, kunci memenangkan peperangan adalah percaya kepada-Nya, dan itulah yang dituntut Allah YHWH dari Bangsa Israel. Tindakan ini merupakan manifestasi atas keberserahan diri mereka kepada Allah, Yang Mahakudus itu.
Ironisnya, Bangsa Israel malah dengan sengaja menolak Allah dan firman-Nya dan mengarahkan mata mereka kepada pertolongan dari Bangsa Mesir. Meskipun suara pertobatan telah diberitakan kepada Bangsa Israel, tetapi mereka tetap menolak untuk percaya kepada Allah (ay. 15). Akibatnya, Bangsa Israel harus menerima hukuman dari Allah. Dikatakan pada ayat ke-13 dan ke-14 bahwa dosa mereka akan diganjar dengan kehancuran yang tiba-tiba dan sekejap. Pada ayat sebelumnya, juga dikatakan bahwa dengan datang ke Mesir, mereka bukan mendapatkan pertolongan, malahan akan mendapatkan malu (ay. 5), karena sesungguhnya pertolongan dari Bangsa Mesir tidak berguna dan percuma (ay. 7). Terakhir, kekalahan merupakan realitas yang pasti akan diterima oleh Bangsa Israel, karena pada akhirnya Bangsa Asyur akan menaklukkan mereka (ay. 16-17).
Apa arti pesan ini bagi kita? Mari kita merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini sejenak, “Sebagai umat Allah Yang Mahakudus, ketika kita mengalami berbagai kesulitan, pertolongan siapa yang kita nantikan?” Adakah realita kita saat ini sama seperti Bangsa Israel yang disebut Allah sebagai stubborn children, atau anak-anak pemberontak, karena di dalam kesulitan, kita sering kali tidak percaya kepada Allah dan cenderung mencari pertolongan yang kelihatan? Kita sering kali tidak setia menantikan Allah di dalam menghadapi berbagai pergumulan kita, tetapi malah berharap dan buru-buru mencari pertolongan dari orang lain.
Di dalam bukunya “Mengasihi Yang Mahakudus”, Aiden Wilson Tozer mengatakan bahwa “apa yang kita pikir tentang Allah, menjelaskan setiap aspek kehidupan kita”.[1] Dapat dikatakan juga bahwa respons dan tindakan kita mencerminkan apa yang kita percayai tentang Allah. Tidak jarang, untuk melepaskan diri dari masalah, atau sekedar untuk mencari pelarian, seseorang cenderung berlari kepada objek pelarian-pelarian seperti bermain gadget seharian, pornografi, games, drama Korea, dan lain-lain. Maka, sebetulnya respons dan tindakan itu mencerminkan isi hati kita dan apa yang kita percayai tentang Allah.
Pesan dari renungan ini sederhana, percayalah kepada Allah dan nantikan pertolongan-Nya. Mari kita mengamini dan menghidupi suara pertobatan yang disampaikan Nabi Yesaya, bahwa “Dengan bertobat dan tinggal diam kamu akan diselamatkan, dalam tinggal tenang dan percaya terletak kekuatanmu” (ayat 15). Sumber kekuatan kita sebagai umat Allah di dalam menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan, tidak terletak dari hebatnya pikiran kita dalam mengelola permasalahan kita, bukan juga dari kecanggihannya teknologi, dan bukan juga dari pertolongan orang lain, tetapi berasal dari Allah sendiri. Maka dari itu, respons yang tepat bagi kita, sebagai umat Allah Yang Mahakudus itu, adalah dengan percaya dan menantikan Allah.
Hal yang dapat kita lakukan sebagai wujud kita percaya dan menantikan pertolongan Tuhan adalah berdoa. Kita belajar menantikan pertolongan Allah di masa-masa sulit dengan datang kepada-Nya melalui doa. Kita belajar menyerahkan segala ketakutan dan kekuatiran kita ke dalam tangan-Nya melalui doa. Di dalam doa juga, kita membuka ruang untuk mengalami pertolongan Tuhan yang sering kali tidak terlihat oleh mata jasmani, tetapi dapat kita rasakan melalui mata batiniah. Dengan berdoa, kita dibawa untuk semakin mengenal Allah, Yang Mahakudus dan rancangan-Nya bagi kita.
[1]. A. W Tozer, Mengasihi Yang Mahakudus: Memperbarui Persepsi-persepsi Kita tentang Allah, terj. Wilandari Supardan (Jakarta: Literatur Perkantas, 2018), 10.
Thanks, ko Aldi