Oleh: Elcent Aprico
Kejadian 50:15-21
Quotes
Memaknai Pengampunan Seharusnya Dilakukan Dengan Memakai Perspektif Tuhan
Pengampunan. Satu kata yang mudah untuk dilontarkan, namun betapa sulit untuk dilakukan. Satu kata yang umum dikhotbahkan, namun masih minim diejawantahkan. Satu kata yang sudah memenuhi kognisi, namun tidak dihidupi dengan aksi. Tidak dapat dipungkiri bahwa kita akan berjumpa dengan banyak orang di dalam konteks kehidupan kita masing-masing, baik itu di dalam keluarga, sekolah, gereja, seminari, perkuliahan, perkantoran, perdagangan, dan sebagainya. Kita akan bersinggungan dengan orang-orang yang memiliki pikiran, perasaan, kepribadian, karakter, dan latar belakang keluarga yang berbeda-beda. Dengan kepelbagaian ini, kita tidak akan luput dari goresan-goresan yang ada. Dengan kata lain, secara sadar atau tidak sadar, ada fase di mana perkataan dan perlakuan dari orang-orang di sekitar kita dapat melukai hati dan diri kita. Perkataan dan perlakuan mereka sewaktu-waktu dapat membuat kita marah, sedih, hingga menelurkan rasa dendam. Inilah realitas kehidupan yang dapat kita jumpai bersama.
Melalui fenomena ini, satu hal yang ingin saya tanyakan kepada anda yang membaca renungan Philipathy ini, bagaimana kita seharusnya memaknai pengampunan? Untuk menjawabnya, saya mengajak anda untuk merenungkan satu bagian firman Tuhan yang terambil dari kitab Kejadian 50:15-21. Teks ini merupakan pasal terakhir dari rangkaian narasi Yusuf sebelum dirinya meninggal. Rangkaian narasi Yusuf ini dimulai dari pasal 37:2 hingga pasal 50:26. Pada pasal 37:12-36, kita dapat melihat peristiwa Yusuf dijual oleh saudara-saudaranya ke tanah Mesir karena kebencian yang begitu mendominasi hati mereka. Kebencian ini timbul akibat Yakub yang lebih mengasihi Yusuf ketimbang saudara-saudaranya. Klimaks dari kebencian ini muncul pasca Yusuf menceritakan isi mimpinya kepada saudara-saudaranya bahwa mereka akan sujud menyembah kepada Yusuf. Akibat rasa benci yang telah terakumulasi ini, maka akhirnya saudara-saudara Yusuf berikhtiar untuk menjual Yusuf sebagai budak ke tanah Mesir. Narasi ini berlanjut pada pasal 39:1 hingga pasal 41:57, yaitu ketika Yusuf berada di tanah Mesir. Ia difitnah oleh isteri Potifar, dipenjara, mampu menjawab mimpi Firaun, hingga dirinya diangkat oleh Firaun menjadi penguasa di tanah Mesir. Peristiwa ini menunjukkan bahwa penyertaan Tuhan sungguh nyata dirasakan oleh Yusuf. Yusuf yang seyogianya menjadi budak di tanah Mesir, namun Tuhan justru merencanakan hal yang baik dengan menjadikannya penguasa di tanah Mesir. Narasi Yusuf terus berlanjut hingga pasal 50:15-21 di mana teks ini menjadi perenungan yang dapat kita nikmati bersama.
Pada perikop sebelumnya, yaitu pada pasal 50:1-14, kita dapat melihat narasi Yakub meninggal dan dikuburkan di dalam gua Makhpela. Dalam narasi Kejadian 50:15-21 ini saya membaginya menjadi dua lokus. Lokus yang pertama terdapat pada ayat 15-18 di mana saudara-saudara Yusuf menyadari akan kesalahan mereka dan berupaya untuk memohon pengampunan dari Yusuf. Apa yang mereka lakukan bermula dari ayat 15, yaitu mereka berasumsi bahwa Yusuf akan mendendam dan membalaskan segala kejahatan mereka pasca Yakub meninggal. Mengapa mereka berasumsi demikian? Dalam pandangan Ibrani kuno, hukum pembalasan memiliki pengaruh yang begitu kuat. Bagi mereka yang berbuat jahat tidak akan luput dari hukuman, sehingga pandangan ini begitu melekat dalam diri saudara-saudara Yusuf. Gambaran Allah dalam Perjanjian Lama pun membuktikan pandangan ini melalui hukuman yang dijatuhkan kepada Adam dan Hawa akibat kesalahan atau kejahatan yang telah mereka perbuat (Kej. 3:16-19). Akibat perasaan bersalah yang menghantui saudara-saudara Yusuf, maka mereka menyuruh seseorang yang tidak disebutkan namanya untuk mengirimkan pesan kepada Yusuf. Isi pesan tersebut adalah bahwa Yakub pernah berpesan kepada Yusuf agar mengampuni mereka pada ayat 16-17. Bahkan, mereka juga datang secara langsung dan sujud di hadapan Yusuf untuk menawarkan diri sebagai budak. Kata sujud ini muncul sebanyak 17 kali dalam kitab Kejadian. Dalam Kejadian 27:29, kata sujud digunakan untuk menggambarkan sebuah ketundukan dan kerendahan diri seorang hamba terhadap tuannya. Pertanyaannya adalah mengapa mereka menawarkan diri sebagai budak/hamba? Nampaknya di sini mereka mengingat kesalahan yang telah mereka perbuat dahulu di mana mereka menjual Yusuf sebagai budak ke tanah Mesir, sehingga mereka berpikir bahwa hal yang sepadan apabila menawarkan diri sebagai budak untuk membayar ganti kesalahan mereka.
Lokus yang kedua terdapat pada ayat 19-21 di mana Yusuf merespons perkataan saudara-saudaranya. Pada ayat 19, respons yang diberikan oleh Yusuf bukannya membalas mereka, melainkan ia berkata “Janganlah takut, sebab aku inikah pengganti Allah?” Yusuf justru menyadari bahwa dirinya tidak memiliki hak sedikit pun untuk membalas perbuatan mereka. Yusuf melihat bahwa hanya Tuhan yang memiliki hak itu. Padahal Yusuf bisa saja membalas segala tindakan keji mereka dengan kekuasaannya, namun ia justru tidak mau menggunakannya. Jika kita menarik hal ini ke dalam konteks saat ini, bukankah kita cenderung melakukan hal sebaliknya? Bukankah kita memiliki tendensi untuk membalas kejahatan orang lain? Secara natur manusia, kita akan merespons kejahatan dengan cara mempertahankan diri. Namun, tidak hanya berhenti sampai di situ. Kita juga bisa bergerak lebih jauh dari itu, yaitu membalas kejahatan dengan kejahatan. Secara generik, anak-anak memiliki kebiasaan untuk membalas pukulan orang lain dengan cara memukulnya balik. Tanpa kita sadari, kita membawa kebiasaan ini hingga dewasa. Hal ini disebabkan oleh natur dosa yang melekat di dalam diri kita, sehingga lumrah apabila kita memiliki kecenderungan ini. Namun, jika kita melihat kembali apa yang telah dilakukan Yusuf, maka kita akan menemukan hal yang berbeda. Bahkan, pada ayat 20, Yusuf menyadari bahwa perbuatan jahat yang telah dilakukan oleh saudara-saudaranya bermuara pada kebaikan yang Allah berikan. Yusuf mampu melihat tindakan kejahatan yang telah dilakukan oleh saudara-saudaranya dengan menggunakan perspektif Tuhan, bukan dengan perspektif manusia. Dengan perspektif Tuhan, Yusuf dapat memaknai pengampunan dan memberikan pengampunan bagi saudara-saudaranya. Kemudian, pada ayat 21, Yusuf mengatakan untuk kedua kalinya dengan perkataan “Janganlah takut”. Hal ini mengafirmasi bahwa Yusuf sama sekali tidak menaruh dendam kepada saudara-saudaranya, melainkan ia justru tetap mengasihi mereka dengan menjamin makanan mereka dan anak-anaknya.
Bagi anda yang membaca renungan ini di mana pun anda berada, saya tidak tahu pergumulan apa yang sedang anda hadapi saat ini. Namun, saya rindu untuk mengajak anda berefleksi dari pertanyaan pembuka di awal tadi. Bagaimana kita seharusnya memaknai pengampunan? Mungkin kita memiliki goresan-goresan yang begitu mendalam dan membekas, sehingga kita begitu sulit untuk mengampuni sesama. Mungkin kita memiliki luka akibat perkataan dan perlakuan dari orang-orang di sekitar kita, sehingga kita begitu sulit membuka hati untuk memaknai pengampunan. Namun, satu hal yang ingin saya katakan, yaitu “Memaknai pengampunan seharusnya dilakukan dengan memakai perspektif Tuhan”. Dengan memakai perspektif Tuhan, maka kita dapat memandang orang yang bersalah kepada kita sebagaimana Tuhan memandang dirinya. Dengan memakai perspektif Tuhan, maka kita mampu mengampuni orang yang bersalah kepada kita sebagaimana Kristus mengampuni dosa kita.
Terima kasih ko Elcent atas renungannya. Renungan ini menyadarkan bahwa saya perlu belajar kembali untuk bisa mengampuni orang lain walaupun orang lain sudah membuat saya kecewa dan melukai hati saya tetapi saya harus bisa mengampuninya karena Allah sudah dulu mengampuni saya sebagai orang berdosa yang banyak melakukan perbuatan yang tidak layak dihadapan Allah.
Goresan luka kadang membuat kita untuk sulit mengampuni, tetapi dengan mengampunilah goresan luka itu sedang mengalami kesembuhan. Thankyou untuk renungannya elcent. GBU.
Terima kasih Elcent untuk renungannya. Melalui renungan ini, saya tidak hanya berusaha menempatkan diri saya sebagai tokoh Yusuf yang pada saat itu mengalami perlakuan yang buruk dari saudara-saudaranya. Meski demikian, Yusuf tidak menaruh dendam terhadap saudara-saudaranya, melainkan Yusuf mengampuni mereka. Lebih jauh lagi, saya melihat pengampunan yang Allah berikan kepada setiap orang yang mengakui dosanya dihadapan Allah. Kesadaran akan dosa yang sering kali saya perbuat, baik secara sengaja maupun tidak sengaja membuat saya merenungkan kembali akan kebutuhan pengampunan dari Allah. Kebutuhan akan pengampunan ini diajarkan oleh Yesus dalam doa Bapa Kami, yaitu sebagaimana tertulis "dan ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami" (Mat. 6:12). Melalui perenungan ini saya belajar bahwa saya juga membutuhkan pengampunan…
Renungan yang memberkati dan menginspirasi. Thank you Elcent. God bless your study and ministry.
Terima kasih Elcent sudah mengelaborasi teks dengan baik.. God bless