Kemuliaan Allah: Visi Yang Hilang
- Senat Bidang 2
- Oct 21, 2020
- 4 min read
Oleh: Gideon Gunothama

Mazmur 65
Quotes
Seluruh Bumi Adalah Teater Kemuliaan Allah (John Calvin)
Pertama kali saya melihat gol-gol dari pemain seperti Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi, saya benar-benar terkagum. Namun, ketika saya melihatnya sekarang, pencapaian mereka tidak terasa mengagumkan. Apa yang salah? Ronaldo dan Messi? Sepertinya tidak, saya mulai memandang kehebatan mereka sebagai suatu hal yang normal, bukan sebagai hal yang luar biasa. Demikian juga dengan kita orang percaya, pada awalnya kita menerima Kristus, hati kita ingin untuk memuliakan Allah seumur hidup, namun seiring berjalannya kehidupan, kita mulai tidak terkagum akan kasih-Nya. Ketika kita menyadari bahwa relasi kita dengan Allah sebagai umat (ay. 1-5), penyataan Allah terhadap umat manusia lainnya (ay. 6-9) dan pemeliharaan Allah terhadap ciptaan (ay. 10-14), merupakan hal yang mengagumkan, dan seharusnya mendorong kita untuk terus hidup memuliakan Allah.
Pada bagian pertama, kita menemukan bahwa Mazmur ini dinyanyikan secara komunal, dalam konteks puji-pujian bersama umat Allah kepada Allah yang dipimpin oleh pemimpin pujian (ay.1). Puji-pujian kepada Allah dilakukan dalam konteks komunitas orang percaya. Ayat ke-2 berbunyi “bagi-Mu, puji-pujian di Sion ya Allah,” pembacaan dalam teks asli menunjukkan ada kata yang hilang yaitu “keheningan.” Hal ini menunjukkan bahwa kekaguman kepada Allah tidak hanya diekspresikan melalui puji-pujian, tetapi juga ekspresi hening, yang menunjukkan rasa takut dan gentar akan hadirat Allah yang kudus. Keterangan tempat “di Sion” juga menjadi penting, karena Sion adalah tempat di mana Allah menyatakan hadirat-Nya kepada bangsa Israel, tempat di mana Bait Allah dibangun.[1] Keberadaan Allah di tengah umat-Nya seharusnya menimbulkan keheningan dan pujian akan Allah. Frasa berikutnya yang berbunyi “dan kepada-Mu lah orang membayar nazar” menjelaskan komitmen konkrit umat kepada Allah sebagai respons atas pekerjaan Allah.
Allah juga mendengar doa umat-Nya (ay. 3a), Ia bukan hanya Allah yang agung dan kudus dan bersifat kaku, tetapi Ia juga mendengarkan manusia. Ia adalah Allah yang berelasi dengan umat-Nya. Kepada Allah datang semua yang hidup, dan kita dapat memahami bahwa manusia seharusnya memiliki hasrat untuk berjumpa dengan Allah. Bahkan, dalam keberdosaan manusia, kita tetap dapat berjumpa dengan Allah karena Ia mengampuni kesalahan kita (ay.4). Pelanggaran-pelanggaran pemazmur menyebabkannya untuk mengalami kewalahan, tetapi pengampunan yang Allah berikan melampaui beban pelanggaran yang ada. Pemilihan Allah terhadap umat-Nya merupakan suatu hak istimewa (ay. 5). Tidak semua orang dipilih Allah untuk menjadi umat-Nya, mereka yang dipilih Allah adalah orang-orang yang “terberkati,” namun bukan karena kebaikan mereka, tetapi karena kasih karunia Allah yang mengampuni dosa mereka. Hal ini seharusnya benar-benar memuaskan umat Allah, karena Allah yang kudus berkenan untuk mengampuni manusia yang berdosa dalam anugerah-Nya.

Bagian kedua dalam Mazmur ini menjelaskan bagaimana Allah dikenal di seluruh bangsa. Allah menjawab manusia dengan perbuatan-perbuatan-Nya yang ajaib di dalam kebenaran (ay. 6a, secara lebih literal). Tindakan Allah ini dikaitkan dengan identitas Allah sebagai juruselamat, yang juga merupakan harapan dari seluruh penjuru dunia dan juga lautan yang jauh, yang berarti Allah adalah sumber harapan bagi semua bangsa (ay. 6b), Ayat 7 dan 8 memberikan penjelasan mengapa Allah adalah Pribadi yang sangat layak untuk diharapkan. Allah menciptakan gunung-gunung dengan kekuatan-Nya. Gunung merupakan bentang alam yang sangat besar dan kokoh, tetapi terlebih kuat dan perkasa Allah yang menciptakan dan mengukuhkan gunung-gunung di bumi. Allah juga berkuasa atas lautan, Ia menenangkan lautan dan amukan ombak, Ia juga menenangkan keributan bangsa-bangsa.
Hal ini menunjukkan bukan hanya Allah berdaulat penuh atas alam ciptaan-Nya, tetapi Ia juga berkuasa atas seluruh umat manusia. Tidak ada yang terlalu sulit di tangan Allah, segala sesuatunya berjalan sesuai dengan kendali dalam kedaulatan-Nya, Allah yang disembah orang Israel bukanlah Allah yang kewalahan. Keperkasaan Allah dalam alam ciptaan-Nya dan kendali-Nya terhadap manusia menghasilkan respons yang natural dari manusia yaitu gentar terhadap Allah, karena melihat pekerjaan-pekerjaan-Nya di bumi ini (ay. 9a). Allah menyatakan pekerjaan-Nya juga kepada orang-orang yang jauh dari peradaban bangsa Israel, hal ini menegaskan kembali kendali dan kedaulatan Allah atas seluruh bumi, bukan hanya separuh, bukan hanya yang didiami bangsa Israel. Allah mengungkapkan keagungan diri-Nya di seluruh bumi.
Pada bagian ketiga, dijelaskan bahwa Allah juga memelihara tanah (bumi) dan memberi hujan (ay. 10a), Allah tidak hanya menciptakan bumi kemudian bersikap apatis dan membiarkan bumi berkembang dengan sendirinya, tetapi Ia memelihara bumi tempat manusia tinggal, menjadikannya kaya dalam kelimpahan. Tuhan menyiapkan gandum (yang merupakan bahan pokok untuk konsumsi pada masa itu) dan dengan demikian menyiapkan bumi (ay. 10b). Bagian ini menegaskan bahwa pemeliharaan Alah dengan menyediakan apa yang manusia perlukan untuk hidup. Tuhan juga “mengairi” alur bajak, membasahi tanah dan mengembangkan tanah dengan hujan, dan memberkati pertumbuhan yang ada di dalam tanah itu (ay. 11). Tanah merupakan media yang menyediakan berbagai macam hasil panen, ini menunjukkan bahwa melalui hujan yang Allah turunkan, Allah sebenarnya sedang memberkati tanah dengan melimpah. Peristiwa alam yang biasa terjadi seperti hujan, sebenarnya bukan sekadar fenomena alam semata, tetapi wujud pemeliharaan Allah terhadap bumi.

Ayat 12 menjelaskan bagaimana Allah juga memahkotai tahun dengan kesejahteraan. Tahun mencakup durasi yang panjang dan ini menggarisbawahi pemeliharaan Allah yang bukan hanya kaya, tetapi bersifat tetap. Jejak Allah digambarkan mengeluarkan lemak (12b), ini menegaskan bahwa apa yang Allah kerjakan di muka bumi menghasilkan kelimpahan bagi bumi. Padang rumput yang penuh dengan kambing domba pun menitik (ay. 13), atau dalam terjemahan lain, berkelimpahan. Bukit-bukit pun bersukacita. Hal ini tentu saja tidak berarti bukit dan padang gurun dapat berkata-kata dan bertindak dalam dirinya sendiri, tetapi personifikasi ini menjelaskan kepenuhan yang ada dimiliki oleh kekayaan alam yang diciptakan dan dipelihara Allah. Kepenuhan dari alam tidak hanya menyangkut unsur spasial atau bentang alam yang ada (bukit, padang rumput), tetapi makhluk hidup yang menempati ruang tersebut, yaitu gandum dan domba (ay. 14). Mereka semua bernyanyi bersama dan bersukacita memancarkan keagungan Sang Pencipta.
Mari kita mengambil waktu untuk merefleksikan karya Allah yang sempurna bagi kita umat-Nya dan bagi dunia ini. Kristus sudah menebus hidup kita dari dosa dan kematian, sehingga kita bisa hidup memuliakan-Nya. Bukankah Allah membayar harga yang sangat mahal untuk berelasi dengan kita? Adakah hati kita sudah kering akan kasih dan kemuliaan Allah, sehingga kita menganggap sepi panggilan Allah bagi kita untuk berelasi dengan-Nya ,sehingga sumber daya yang kita miliki kita pakai bagi kepentingan diri kita saja, sehingga kita berhenti memproklamirkan kasih dan anugerah Allah bagi dunia ini? Kiranya Allah menolong kita supaya hidup kita boleh senantiasa memancarkan kemuliaan-Nya.
Pertanyaan penutup: Apakah menyatakan kasih dan kemuliaan Allah bagi dunia menjadi pengejaran tertinggi dan satu-satunya dalam hidup kita?
[1]. Tremper Longman dan Raymond B. Dillard, An Introduction to The Old Testament, 2nd ed. (Grand Rapids: Zondervan, 2006), 257.
Comments