Oleh: Christin Natalia Siahaan
Mazmur 43
Quotes
Tidak Ada Yang Salah Dengan Masalah. Kita Hanya Perlu Respon Yang Tepat Ketika Menghadapi Masalah
Di dalam hidup, tak seorang manusia dapat lepas dari masalah. Masalah menjadi sesuatu hal yang perlu diselesaikan. Karena jika tidak, akan menimbulkan ketegangan dalam diri seseorang. Jika kita melihat fenomena munculnya masalah dapat terjadi karena banyak faktor, baik dari dalam maupun luar diri. Ketika masalah hadir dalam hidup tidak jarang kita marah, mengeluh, bahkan menyalahkan orang lain. Namun, apakah masalah itu menjadi sesuatu hal yang salah dalam hidup ? Apakah ada ekspresi lain yang timbul selain marah, kesal, menyalahkan orang lain, ketika masalah hadir dalam hidup kita ?
Seorang pemazmur dari bani Korah, menggambarkan ekspresi hati yang paling dalam ketika masalah menimpa dirinya. Sampai tiga kali, dia mengulang kondisi ketertekanan jiwa yang begitu mendalam dan terus meyakinkan diri untuk tetap berharap kepada Allah (Mazmur 42:6,12; 43:5). Masalah apa yang dialami pemazmur sampai dia merasakan pergulatan yang begitu hebat terjadi di dalam dirinya ? Mazmur 43:1, pemazmur berseru: “Berilah keadilan kepadaku, ya Allah, dan perjuangkanlah perkaraku terhadap kaum yang tidak saleh! Luputkanlah aku dari orang penipu dan orang curang! Ketika pemazmur berada dalam pembuangan dan tertawan oleh bangsa yang tidak mengenal Allah, tentu ia tidak dapat menjalankan kehidupan keagamaan yang biasa dilakukannya. Ia tidak dapat masuk ke dalam Bait Allah di Yerusalem, tidak dapat berziarah ke Bait Suci, dan tidak merasakan kedekatan dengan Allah-nya. Rumah Allah menjadi salah satu simbol keintiman relasi umat dengan Allah. Pemazmur yang tidak dapat melakukan perjalanan spiritualnya ke Bait Suci, jiwanya merasa kering, kosong, dan sangat merindukan Allah. Setiap hari para musuh memperburuk keadaan dengan bertanya: “Di mana Allahmu ?” (Maz. 42:4).
Jeritan putus asa dari hati pemazmur yang merasa ditinggalkan oleh Allah dan dihina orang di sekitarnya, semuanya diwarnai oleh rasa sakit karena penolakan. Sampai dua kali pemazmur mengulang dan mempertanyakan Tuhan dengan cukup tajam terhadap penolakan yang dirasakannya “Mengapa Engkau membuang aku ? Mengapa aku harus hidup berkabung di bawah impitan musuh ?” (Maz.42:10; 43:2). Dalam kegundahan, pemazmur bertanya-tanya tentang keberadaan Allah yang pernah membebaskan umatnya dari perbudakan Mesir menuju tanah Kanaan. Ketika berada dalam pembuangan, pemazmur mengalami fasa di mana imannya sedang diuji. Tatkala mempertanyakan: “Apakah mungkin Allah sedang lupa kepada umat-Nya ?” Sepertinya, Allah berlambat-lambat menolong pemazmur yang sangat menantikan akan kehadiran Allah dengan perasaan yang begitu mendalam.
Namun, hal yang menarik dari pemazmur, meskipun banyak hal yang menjadi keluhannya dengan perasaan yang mendalam terhadap penantiannya kepada Allah, pemazmur tidak melupakan pengalamannya bersama Allah. Pemazmur berseru kepada Allah untuk mengirimkan terang-Nya yang dapat menuntun dan membawa pemazmur ke gunung Allah yang kudus (Maz.43:3). Sambil pemazmur mengingat bagaimana langkah kaki dengan derap dan nyanyian sorak-sorai yang keluar dari luapan hati yang bersuka datang ke Rumah Allah (Maz. 42:5; Maz 43:4). Mengingat setiap kebaikan Allah dalam hidup pemazmur, membuatnya terdorong untuk bangkit ketika masa kelam itu masih menimpa dirinya. Pemazmur senantiasa melagukan kondisi pilu yang dialaminya sambil terus meyakinkan dirinya bahwa Allah dapat mengubah kondisi jiwanya dari ketidakbahagiaan dan keputusasaan menjadi keyakinan dan kegembiraan. Pengenalan pemazmur akan Allah menolong dia untuk tetap berharap hanya kepada Allah saja.
Pengalaman yang dialami pemazmur pernah terjadi dalam kehidupan saya tiga tahun silam. Ketika saya diperhadapkan kepada dua pilihan yang tidak mudah untuk saya putuskan terkait memilih sebuah pekerjaan atau harus melanjutkan studi. Sebagai seorang lulusan sarjana, tentu saya berpikir bahwa sudah cukup bagi kedua orang tua saya untuk membiayai kehidupan saya. Saatnya saya harus mandiri. Namun, dalam perjalanannya tidak semudah itu untuk mendapatkan sebuah pekerjaan. Pekerjaan yang sesuai dengan keinginan hati saya yaitu mengajar dengan latar pendidikan lulusan sarjana teknik. Logikanya mana ada instansi/lembaga pendidikan yang dengan mudah menerima lulusan teknik untuk dipekerjakan sebagai seorang pengajar. Ada skill yang rekruitmen butuhkan untuk dicalonkan sebagai seorang pendidik yaitu sarjana keguruan. Bekerja di perusahaan bukan alternatif dalam hidup saya untuk memilih sebuah pekerjaan. Perjalanan yang tidak mudah ini diwarnai oleh dominasi dari ke dua orang tua saya yang mengharuskan saya harus bekerja ke sebuah perusahaan. Alhasil,saya di terima di sebuah perusahaan yang bergerak dalam produksi minuman. Bulan pertama saya mengikuti ritme bekerja di sebuah perusahaan tanpa harus mengorbankan hari Sabat untuk bekerja membuat hati saya tetap bertahan di dalamnya. Masuk bulan ke dua, saya mulai diperhadapkan dengan kondisi hari Sabat saya wajib bekerja. Memang, saat itu saya dapat menyesuaikan waktu saya jika masuk shift pagi saya dapat beribadah di kebaktian sore begitu sebaliknya.
Namun, saya merasakan pedih yang begitu menyakitkan di dalam batin. Saya melihat diri saya datang ke gereja hanya untuk mengisi absensi. Kondisi fisik yang sudah lelah bekerja setengah hari dilanjutkan lagi dengan ibadah sore, membuat saya seperti orang munafik. Satu kalimat yang terucap saat itu adalah pekerjaan ini menjadi berhala bagiku jika saya tidak dapat menikmati Allah. Apa yang kulakukan ? Saya tidak ingin berlama-lama dalam kondisi mencekam itu, tidak ingin mencobai diri saya sendiri. Bahwa saya mengakui saya tidak dapat menikmati relasi saya dengan Allah. Saya meminta kepada Tuhan untuk memberikan kekuatan membuat keputusan yang benar di hadapan Dia. Bahkan jika saya harus mengorbankan harga diri saya dihadapan orang tua saya, karena sebuah pekerjaan yang menjanjikan masa depan yang baik kata orang-orang sekuler. Singkat cerita, dengan keputusan yang saya pilih, saya mengundurkan diri dari pekerjaan itu dan sebelum lanjut studi, saya melanjutkan hidup saya dengan mengajar banyak anak dari rumah ke rumah. Secara manusiawi, masa depan apa yang saya dapatkan dengan mengajar dari rumah ke rumah ? Begitulah pemikiran orang-orang terdekat saya termasuk ke dua orang tua saya. Namun, bagi saya menikmati Allah dan dapat melayani Dia itu merupakan hal terbaik yang dapat dilakukan selama hidup dan tidak dapat diganti dengan apapun. Sekalipun masalah pemikiran itu belum selesai, saya tetap memandang kepada Dia.
Tentu, setiap kita punya pengalaman menghadapi masalah yang berbeda-beda. Namun, pertanyaannya adalah bagaimana respon kita ketika menghadapi masalah yang sedang diperhadapkan dalam hidup kita ? Siapa pribadi yang pertama sekali kita tuju untuk mengungkapkan perasaan kelam itu ? Dan siapa pribadi yang kita sangat harapkan berjalan bersama kita dalam masalah itu?
Comments